Gusti Ngurah Anom lahir di rumah bidan desa bernama
Ibu Restu pada 5 Maret 1971 pukul 1 siang. Sejak bayi hingga
kelas 4 SD, Anom lebih sering tinggal di rumah kakeknya.
Ini karena rumah orang tuanya terlalu kecil untuk ditempati
bersama-sama oleh seluruh anggota keluarganya (orang tua,
Anom, dan 6 orang saudara).
“Keluarga saya bisa dikatakan paling miskin di Desa
Tangguwisia. Rumah yang saya tempati bersama orang tua
dan saudara merupakan rumah petak sederhana berukuran
6 kali 8 meter. Dinding rumahnya tidak disemen, tapi dibuat
dari tanah yang ditempel di dinding rumah. Atapnya dari anyaman
daun kelapa. Tempat tidur dan dapur jadi satu bagian.
Dulu rumah itu pernah terbakar. Di rumah itu saya tinggal berempat
bersama kakak dan orang tua. Kalau mandi saya pergi
ke sungai sekitar 500 meter dari rumah,” ujar Anom.
Sejak masih kecil, Anom mengaku sudah sangat akrab
dengan kemiskinan. Ayah Anom merupakan seorang petani
miskin. Sementara ibunya merupakan seorang pedagang kue.
“Kalau sekolah saya jalan kaki 3 kilometer ke SD 1 Tangguwisia.
Setiap hari uang jajan saya hanya Rp 100, sementara
uang jajan anak lainnya waktu itu Rp 200 ditambah dengan
naik sepeda dayung ke sekolah.”
Raja Oleh-Oleh Khas Bali 17
Waktu duduk di bangku Sekolah Dasar, Anom mengaku
sudah terbiasa berjalan kaki ke sekolah.
Setiap harinya
Anom berangkat jam 11 siang dan tiba di sekolah jam 12.30
siang. Pulang sekolah jam 17.00 Anom kecil juga jalan kaki dan
tiba di rumah jam 19.00 malam.
Untuk makan sehari-hari, Anom lebih sering makan
ubi dan ketela yang dicampur nasi dan jagung. Anom mengaku
sangat jarang ditemani lauk pauk.
“Lebih sering hanya ditemani sayur ubi, plecing (sayur
bumbu
pedas) daun labu. Makannya juga dua kali sehari.”
Karena rumahnya terlalu sempit untuk ditinggali bersama,
orang tua Anom akhirnya memutuskan untuk mengirim
kakak-kakaknya yang lain untuk tinggal di rumah keluarga besar
ayahnya di Gianyar. Hanya kakak nomor 5 dan 6 yang tinggal
di rumah orang tuanya di Desa Tangguwisia.
Sementara Anom kecil lebih banyak tinggal di rumah
kakeknya (ayah dari ibu), masih satu kampung di Desa Tangguwisia.
Di rumah kakek Anom yang disebutnya ‘Kubu’, terdapat
banyak buah-buahan.
Di rumahnya, kakek Anom mempunyai usaha membuat
bata merah. Saat itu Anom sering membantu kakeknya
mengangkut kayu bakar dengan upah Rp 200 per hari.
Selain membantu membuat bata merah, Anom kecil
juga sering membantu kakeknya memetik buah jambu.
“Ada 4 buah pohon jambu di kubu milik kakek. Ka18
Gusti Ngurah Anom
lau sudah asyik petik pohon jambu, saya suka bolos karena
keasyikan
petik jambu. Jambu yang dipetik kemudian saya jual
ke pasar yang berjarak 3 kilometer dari rumah kakek. Untuk
membantu menjual jambu ini saya mendapat upah Rp 500.”
Meski tergolong anak yang rajin, Anom mengaku jarang
membantu ayahnya sendiri di sawah.
“Saya alergi dengan lumpur sawah karena membuat
kaki saya ‘koreng’ (gatal). Saya lebih sering di rumah kakek.
Setelah kelas 4 SD, saya baru sering di rumah orang tua dan
baru lebih mengenal orang tua sendiri,” jelas Anom.
Sejak menginjak bangku sekolah dasar, sifat nakal
Anom sudah mulai terlihat. Sejak kelas 1 SD ia sudah sering
bolos, jarang pergi sekolah.
“Waktu itu saya punya hobi mancing. Jam 4 pagi saya
sudah pergi mancing. Karena keasyikan mancing saya kemudian
bolos sekolah,” kenangnya.
Untuk urusan belajar, Anom kecil juga tergolong malas
belajar. Karena latar keluarga yang miskin, buku tulis dan buku
pelajaran sering ia pinjam dari teman. Dalam urusan belajar
di rumah, juga tidak pernah ada yang membimbingnya untuk
belajar.
“Saya sering bolos, saya lebih banyak bantu kakek.
Hasilnya sampai kelas 5 SD saya belum bisa membaca dan
menulis.
Saya baru bisa membaca setelah duduk di kelas 6 SD.
Setelah ada surat teguran dan sekolah untuk orang tua, baru
ayah dan ibu mau membagi tugasnya mengajari saya memRaja
Oleh-Oleh Khas Bali 19
baca dan menulis.”
Selain sering bolos sekolah, waktu duduk di bangku
SD Anom juga sering membuat masalah di sekolah. Ia sering
melempari buah mangga yang ada di halaman sekolah dan
kemudian membuat rujak bersama teman-temannya di sekolah.
“Karena sering tidak dibekali uang saku saat ke sekolah,
saya juga sering ngutil (mencuri) makanan di kantin sekolah.
Dengan uang saku yang hanya Rp 50 per hari waktu itu,
saya berusaha agar bisa makan tipat (ketupat sayur), minuman,
dan juga kue,” ujarnya.
Meski dikenal sebagai anak bandel di sekolah, Gusti
Ngurah Anom juga dikenal sebagai anak yang aktif dan suka
kerja keras.
Meski lemah di bidang pelajaran, Anom punya
kelebihan di bidang keterampilan. Waktu SD Anom sudah
bisa membuat ‘penjor’ (hiasan dari bambu dan janur) dengan
baik. Semua bahannya ia ambil dari kubu milik kakeknya
Pekak Gelgel.
Karena faktor kemiskinan, waktu di bangku SD Anom
tidak bisa membeli buku, alat tulis, dan buku pelajaran. Agar
bisa tetap belajar, Anom terpaksa mencuri buku tulis temannya.
Caranya, bagian tengah buku tulis milik temannya ia ambil
dengan cara disobek. Ada beberapa buku tulis milik teman
sekelas yang dicopot bagian tengahnya.
“Lembaran-lembaran bagian tengah buku tulis milik
teman yang saya curi ini kemudian saya rangkai di rumah
20 Gusti Ngurah Anom
menjadi sebuah buku tulis untuk belajar. Mencuri bagian
tengah
buku tulis ini saya lakukan sejak SD hingga saya duduk
di bangku SMP.”
Selain suka mencuri halaman tengah buku tulis milik
teman sekelas, Anom juga suka mengambil isi pulpen milik
teman sekelasnya. Isi pulpen curian itu kemudian digulung
dengan
kertas dan digunakan untuk mencatat pelajaran sekolah.
Saat mencuri buku tulis dan pulpen ini Anom sering
tertangkap basah. Namun teman-temannya tidak ada yang
berani karena Anom kecil mempunyai ‘gank’ yang terdiri dari
kumpulan anak-anak bandel di sekolahnya.
“Demikianlah cara saya agar bisa tetap belajar di tengah
kemiskinan yang menghimpit keluarga saya. Semuanya
serba
terbatas, mulai alat tulis, buku pelajaran, uang saku,
hingga
seragam sekolah yang kusam dan kotor.
Karena tidak
bisa beli sepatu, saya juga sering pakai sandal saat pergi ke
sekolah,” jelas Anom.
Saat jam istirahat, Anom sering menggelar permainan
bersama teman-teman sekelasnya. Jenis permainan yang
sering
ia dan teman-temannya lakukan adalah bermain gasing
dan tembing. Bersama teman-temannya, Anom juga sering
adu panco sehingga membuat suasana kelas menjadi gaduh.
“Karena sering berbuat onar dan nakal di sekolah, saya
sering dihukum guru sekolah yang kebanyakan merupakan
orang-orang di kampung tempat saya tinggal. Salah satu guru
yang sering menghukum saya adalah Ibu Sri. Ibu Sri sering meRaja
Oleh-Oleh Khas Bali 21
mukul saya dengan penggaris kayu sepanjang 1 meter.
Telinga
saya juga sering dijewer jika dianggap melakukan kesalahan di
mata guru sekolah,” kenangnya.
Anom sering dihukum karena sering tidak membuat
pekerjaan rumah (PR) dan tidak bisa menggambar.
“Pokoknya waktu itu saya nakal dan bodoh. Kalau nakal
tapi pintar kan bagus, tapi ini sudah nakal, bodoh pula.”
Selain sering mendapat hadiah pukulan penggaris kayu
dan dijewer, Anom kecil juga sering dihukum membersihkan
toilet sekolah. Akibat kenakalannya di SD, ayah dan ibu Anom
sering menerima keluhan dari Kepala Sekolah.
Kelas 5 SD, untuk kesekian kalinya Anom ketahuan berbuat
nakal di sekolah. Ayah dan ibunya kemudian menerima
laporan dari sekolah bahwa Anom belum bisa membaca dan
menulis.
“Ayah yang biasanya pendiam waktu itu tak sanggup
lagi menahan emosinya.
Saya dicari ke rumah kakek. Saya kemudian
dibawa ke sungai dan direndam di sana. Kemarahan
ayah waktu itu sudah benar-benar memuncak karena sudah
sering menerima laporan ataupun keluhan kenakalan saya.
Waktu itu saya hanya bisa pasrah dan putus asa menghadapi
kemarahan ayah. Waktu itu saya sempat menyesali diri, kenapa
hidup saya seperti ini. Banyak nyusahin orang.”
Setelah direndam di sungai, ayahnya mengatakan bahwa
Anom harus segera bisa membaca. Semenjak itu ayah dan
ibu Anom yang sebelumnya kurang perhatian terhadap kegiatan Gusti Ngurah Anom
akan
belajar anaknya mulai menyisihkan waktu untuk menemani
Anom belajar membaca dan menulis.
Kelas 6 SD Anom
baru bisa membaca dan menulis.
“Saya lulus bangku sekolah dasar dengan status ‘lulus
pertolongan’ alias dibantu pihak sekolah. Dari 50 orang murid
di kelas 6 SD, saya menduduki rangking 2 dari bawah alias
rangking 49.”
Kenapa Anom yang seharusnya tidak lulus bisa lulus
bangku sekolah dasar, ini ada ceritanya sendiri.
Wakil Kepala Sekolah Dasar tempat Anom sekolah
waktu itu bernama Ibu Kadek. Meski tergolong nakal, Anom
sering menginap di rumah Ibu Kadek, menemani anaknya
yang bernama Ngurah Adek.
“Saya sering lari pagi bersama Ngurah Adek menyusuri
jalanan desa. Ini yang membuat Ibu Kadek merasa terpanggil
untuk membantu saya lulus SD dengan status ‘Lulus
Pertolongan,”
jelas Anom mengungkap ‘resep’nya lulus dari
bangku sekolah dasar.
0 Response to "Masa kecil anom di desa tangguwisia"
Post a Comment