Setamat SD, Gusti Ngurah Anom kemudian mendaftar
di SMPN I Seririt dan SMP Saraswati Seririt. Akhirnya ia diterima
di bangku cadangan, di SMPN Seririt.
“Saya diterima di kelas G, yakni kelas yang menampung
siswa baru dengan nilai NEM (Nilai Ebtanas Murni) paling kecil
dari seluruh siswa yang diterima di SMPN Seririt. Waktu awal
sekolah SMP, saya dibantu paman (adik ibu) Nyoman Singarata
yang saat itu bekerja di Hotel Bali Beach. Paman membantu
membayar uang SPP saya tiap bulannya,” ujar Anom.
Meski sudah menginjak bangku Sekolah Menengah
Pertama, uang ‘bekel’ atau uang saku yang diterima Anom
waktu itu masih sama seperti saat ia duduk di bangku SD, yakni
hanya Rp 100 per hari. Waktu itu ongkos naik bemo atau
angkot dari rumahnya ke SMP Rp 50 untuk sekali jalan atau
pulang pergi Rp 100.
“Jika saya naik bemo pulang pergi maka uang saku
saya akan habis hanya untuk ongkos bemo.”
Untuk menyiasati ini, Anom memutuskan untuk berjalan
kaki dari rumah ke SMPN Seririt yang berjarak kurang
lebih 3 kilometer. Ia berangkat siang hari dan baru pulang sore
hari. Ini ia jalani selama 3 tahun. Waktu itu Anom punya teman
yang sering diajak jalan kaki bareng ke sekolah yakni Reno,
24 Gusti Ngurah Anom
Putu Armini, dan Putu Sukerta. Sementara teman-teman yang
lainnya lebih banyak naik sepeda dayung ke sekolah.
“Untuk berjalan kaki dari rumah ke sekolah saya dan
teman-teman butuh waktu 1,5 jam. Sementara pulangnya
kami perlu waktu 2 jam karena kondisi jalan yang ramai saat
jam pulang sekolah.”
Karena berangkat sekolah dengan jalan kaki di siang
hari, setibanya di sekolah Anom merasa kelelahan dan mengantuk.
Akibatnya ia tidak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran
di kelas.
Setelah duduk di bangku SMP, Anom juga tidak bisa
membeli buku, alat tulis, dan buku pelajaran. Yang ditanggung
pamannya hanyalah uang SPP bulanan. Uang hasil kerja orang
tuanya waktu itu hanya habis untuk biaya makan sehari-hari.
Karena tidak pernah belajar di rumah, Anom selalu
nyontek saat sedang mengikuti ulangan tulis di kelas. Anom
tidak bisa nyontek teman sebangkunya saat guru menggelar
ulangan lisan dengan memanggil para siswa satu per satu ke
depan kelas.
“Saat ulangan lisan mata pelajaran biologi, saya sama
sekali tidak bisa menjawab pertanyaan guru. Akibatnya saya
dihukum dengan hukuman mengangkat satu kaki di depan
kelas. Saya waktu itu benar-benar merasa bodoh. Bodoh karena
miskin. Waktu itu saya merasa hidup dalam kondisi minus,
benar-benar minus.”
Saat duduk di bangku SMP, Anom mempunyai seorang
Raja Oleh-Oleh Khas Bali 25
kawan akrab bernama Tedi.
Tedi merupakan anak orang kaya
di Seririt. Jika murid lain masih naik sepeda ke sekolah, waktu
itu Tedi sudah membawa mobil ke sekolah. Mobilnya jenis Suzuki
Carry Pick Up.
“Tedi sering memberi saya makanan saat saya sama
sekali tidak membawa bekal uang saku ke sekolah. Singkatnya
waktu itu Tedi jadi kawan sekaligus bos saya. Tedi juga sering
menjemput saya ke rumah,” ujar Anom.
Seiring perjalanan waktu, Anom mulai jarang jalan kaki
dari rumah ke sekolah. Selain sering dijemput Tedi dengan
mobil
pick upnya, Anom juga sering nebeng boncengan dengan
temennya yang membawa sepeda dayung. Salah satu teman
yang sering ia tumpangi sepedanya adalah Putu Sukertia.
Kebiasaan mencuri halaman tengah buku tulis milik temannya
masih dijalani Anom hingga di bangku SMP. Ini karena
kondisi ekonomi orang tuanya yang masih tidak menentu,
masih dalam bayang-bayang kemiskinan.
“Aksi mencuri buku di bangku SMP ini saya lakukan
dua kali sehari, yakni di jam istrirahat. Buku tulis milik beberapa
orang teman sekelas, saya copot bagian tengahnya dan kemudian
saya kumpulkan. Lembaran-lembaran buku tulis itu
kemudian saya kumpulkan dan saya rangkai di rumah menjadi
sebuah buku tulis, persis seperti yang saya lakukan waktu di
SD,” kenangnya.
Selain tidak bisa membeli buku tulis dan alat tulis, di
bangku SMP Anom juga tidak bisa membeli buku pelajaran
26 Gusti Ngurah Anom
sekolah. Untuk menyiasatinya, ia sering mencuri buku pelajaran
yang ada di perpustakaan sekolah dan kemudian dibawa
pulang.
Perbuatan mencuri (karena terpaksa) yang dilakukan
di bangku SMP ini juga sering diketahui teman-temannya.
Karena kebandelan dan kenakalannya, beberapa guru
sekolahnya sempat mem’black list’ Anom. Guru-guru untuk
mata pelajaran tertentu seperti Sejarah, Bahasa Inggris, dan
Matematika sempat melarang Anom untuk mengikuti kegiatan
belajar di kelas. Ini terjadi saat Anom duduk di bangku
kelas II SMP.
Guru matematika melarang Anom ikut kegiatan belajar
karena ia tidak mau ikut les. Anom beralasan tidak bisa ikut
les waktu itu karena membantu kakeknya di rumah.
Guru Bahasa Inggris mem’black list’ Anom karena
ia sama sekali tidak mengerti pelajaran Bahasa Inggris yang
diberikan di kelas.
Selain tidak mengerti pelajaran yang diberikan,
Anom juga ketahuan main panco di kelas saat jam pelajaran
bahasa Inggris. Ia bikin onar di kelas dengan
main adu
panco sebelum guru bahasa Inggris masuk ke dalam kelas.
Sedang guru Sejarah yang bernama Pak Wisnu juga
sering memarahi Anom dan sempat melarangnya untuk ikut
di kelas sejarah yang diajarnya.
“Pak Wisnu marah karena saya sering pindah-pindah
tempat duduk saat pelajaran berlangsung. Saya juga sering
duduk di bawah bangku dan sering ketiduran saat pelajaran
sedang berlangsung,” kenangnya.
Raja Oleh-Oleh Khas Bali 27
Selain tiga guru tersebut, hampir semua guru di SMPN
Seririt sudah mencap Anom sebagai sosok murid yang bandel
dan juga bodoh (menurut Anom bodoh karena miskin).
Waktu SMP Anom punya ‘gank’ atau kelompok yang
terdiri dari anak-anak nakal, mulai kelas A hingga G. Anom dan
anggota ganknya kemudian membentuk kelompok bersepeda
yang dinamai “Street Bicycle Club” (SBC).
Meski tidak punya
sepeda karena memang tidak mampu membelinya, Anom
tetap ikut bergabung sebagai anggota aktif di kelompok itu.
Seorang teman bernama Putu Agustina, kemudian
memberinya pinjaman satu buah sepeda balap. Dengan sepeda
balap pinjaman inilah Anom sering nongkrong bareng teman-
teman sesama anggota SBC.
“Setiap hari Sabtu dan Minggu kami selalu kumpulkumpul
di Desa tempat tinggal saya dan kemudian bersepeda
menuju Kota Singaraja. Setibanya di Kota Singaraja kami kemudian
keliling kota sebelum kembali lagi pulang ke Seririt,”
ujarnya.
Meski sudah diberi pinjaman sepeda, saat itu Anom
punya keinginan untuk punya sepeda sendiri. Ia mulai berulah
dengan sering ngamuk di rumah minta dibelikan sepeda.
“Permintaan yang disertai aksi ngamuk-ngamuk akhirnya
direspon meme (ibu). Meme kemudian membelikan saya
sebuah sepeda bekas merk Phoenix seharga Rp 15.000.
Waktu
dibeli, sepeda dalam kondisi ban bocor dan rusak di beberapa
bagian. Sepeda itu kemudian saya servis sendiri di rumah.”
28 Gusti Ngurah Anom
Setelah punya sepeda sendiri, hobi bersepeda Anom
berlanjut. Ia kemudian ikut rally sepeda dan mendapat juara
satu untuk kategori rally tercepat dan ‘standing’ atau mengangkat
roda depan sepeda terlama. Karena prestasinya itu,
nama Anom dan clubnya SBC mulai dikenal di kalangan penghobi
sepeda khususnya di wilayah Seririt.
“Waktu itu saya dikenal sebagai anak orang miskin yang
punya ‘backing’ anak-anak orang kaya. Pergi ke mana-mana
saya ada yang jemput, mulai dijemput naik sepeda dayung,
motor, hingga dijemput naik mobil. Untuk ke sekolah, saya
juga sudah tidak pernah jalan kaki lagi sampai tamat SMP,”
kata Anom mengenang masa remajanya di bangku SMP.
Setelah banyak punya teman, Anom lebih sering tinggal
di rumah temannya di Seririt dan jarang pulang ke rumah
orang tuanya. Hal ini tidak pernah dipersoalkan oleh orang
tuanya.
Orang tua Anom sudah menyerah menghadapi perilaku
Anom yang bandel.
“Akhirnya saya berhasil menamatkan bangku SMP
dengan
kondisi pas-pasan dan penuh siasat agar bisa bertahan
dalam
kehidupan yang serba keras dan serba kekurangan.”
0 Response to "Anom saat masih SMP"
Post a Comment